Pagi hari jam 04.00, panitia sudah membunyikan alarm yang ada di mega phone. Seperti sirine polisi saja, kami sontak terbangun semua. Agenda subuh itu adalah solat subuh jam 04.30. Aku membangunkan Udhik. Kita berdua mengambil sarung,wudu dan solat berjamaah di mushola pusdiklat. Pagi itu, sekitar jam 05.00, setelah solat subuh, panitia menginstruksikan ada olahraga pagi jam 05.30. Kita disuruh siap-siap ganti baju olahraga. Kita juga dilarang memakai sandal. Panitia bilang, “kalau tidak pakai sepatu, lebih baik telanjang kaki”, mereka bilang begitu. Waktu itu, aku lebih memilih telanjang kaki karena habis olahraga pagi, ada apel pagi dan agenda bersih-bersih diri dan sarapan dan malas saja pakai sepatu, hehe. Agenda bersih-bersih diri sampai jam 7 pagi dilanjutkan sarapan sampai jam 8 pagi. Mandi waktu itu juga mengantri panjang. Aku baru bisa mandi jam setengah tujuh. Cepat-cepat aku mandi dan ganti baju. Jam 7 aku ke ruang makan bareng temen-temen. Pagi itu menu masakannya juga hampir sama, telur lagi.
Sesi makan pagi dan makan malam yang kutemui sebelumnya selalu dengan prasmanan. Yang masih kuingat setiap kali ibu-ibu koki di dapur menambahkan sayuran, selalu membawa panci yang sangat besar sekali berisi masakan, biasanya sop. Aku mengambil secukupnya untuk kemudian aku duduk di meja makan yang memang telah disediakan dan bertaplak putih. Seperti biasa, aku makan bareng Udhik dan teman lain tentunya. Sesi makan pagi itu selesai jam 8. Agenda selanjutnya kita ke pendopo kabupaten. Pagi itu, tanggal 16 Agustus, sehari sebelum upacara 17 Agustus (untuk pertama kali semenjak SD, aku tidak ikut upacara bareng teman-teman SD di lapangan Pesanggrahan).
Kami rame-rame berjalan kaki dari asrama menuju pendopo karena memang jaraknya cukup dekat sekitar 500m saja. Sepuluh menit berselang, kami baris seperti bebek rame-rame, meninggalkan asrama melewati SDN Sidakaya 01, 02, 03, melewati perempatan Walikota dan sampai di alun-alun Cilacap. Inilah pertama kali aku masuk pendopo kabupaten Cilacap. Pendoponya bersih, ukiran-ukiran khas Jawa banyak terlihat dari luar, berwarna cokelat. Masuk ke dalam, interiornya sudah modern, dan rasa-rasanya seperti rumah dinas bupati, kami melihat-lihat galeri foto bupati. Setengah jam kami melihat-lihat, ada segerombolan paskibra yang sedang serius latihan. Kami melewati kerumunan yang sedang istirahat itu. Salah satu putri paskibra bertanya padaku,”dari kecamatan mana,Dik?”. Tapi, aku kondisinya bingung, Aku kira dia bukan bertanya padaku. Jadi, aku tidak menjawab, hanya melihat dan tersenyum sedikit ke arahnya. Sebagian paskibra itu juga ada yang sedang melantunkan deklamasi. Potongan yang masih kuingat seperti ini, “ Belahlah dadaku, potong-potonglah jasadku, tapi aku masih dilindungi benteng merah putih…”, itu potongan deklamasi yang masih kuingat sampai sekarang.
Acara pagi itu lebih banyak ramah tamah dengan pak Bupati Cilacap waktu itu, Hery Tabrikarta, S.H, S.E (kalau tidak salah), hehe.. Beliau juga didampingi istrinya yang ikut menemui kami. Aku duduk di tengah. Dimulai dengan perkenalan, sambutan dsb. Tak lupa juga menyanyikan mars Cilacap Bercahaya, aku hafal lagu itu, tapi tidak dengan Udhik, hehe. Atau dia memang tidak suka menyanyi, aku tidak tahu. Di tengah-tengah acara, snack dibagikan kepada kami. Padahal perut belumlah lapar lagi. Acara itu berakhir sekitar jam 11.00. Kami berjalan lagi ke asrama dengan rute yang sama. Sampai di depan asrama, sudah terparkir beberapa bus besar yang siap mengantar kita berjalan-jalan. Tempat tujuan waktu itu adalah Pertamina UP IV dan PT Semen Cibinong, yang terletak di kawasan Industri, Cilacap.
Persiapan kulakukan secukupnya. Aku mengambil tas dan topi, serta beberapa makanan secukupnya termasuk uang saku. Udhik ada bersamaku waktu itu. Kita berdua lari menuju ke bis besar dan ber –AC, bagiku cukup mewah. Aku berjalan ke depan mencari tempat duduk yang kosong, dan akhirnya aku menemukan tempat duduk di sebelah tengah bagian bus. Udhik dan aku sama-sama suka duduk di bagian yang dekat dengan jendela. Tapi, waktu itu diputuskan yang lebih tua yang mengalah. Aku bilang,”aku yang di sini, kamu sama aku kan tua kamu. Siapa yang lebih tua yang harus ngalah, setuju?” Dia bilang, ”Apa iya? Memang kamu lahir tanggal berapa?”, tanya dia.. Seolah dia mengiyakan permintaanku. Aku bilang lagi,” Ok, aku tanggal 22 Agustus, lah kamu lahirnya tanggal berapa?”. Dia jawab:”aku tanggal 12 Agustus”. Kutimpali lagi, “Nah,kan tua kamu. Berarti kamu yang ngalah”. Dia hanya pasrah,mengiyakan dan duduk. Tapi dalam hati sebenarnya aku tidak tega untuk membiarkannya duduk tidak di dekat jendela. Aku sudah berniat untuk tukar posisi manakala kita naik bis lagi nantinya.
Bis berangkat menuju Pertamina UP IV di kawasan Lomanis. Aku tidak tahu rute mana yang diambil. Yang jelas, aku di bis hanya menikmati pemandangan alam dan asyik ngobrol dengan Udhik. Sampai akhirnya tour guide mengatakan bahwa kita sudah sampai di pertamina. Beliau juga mengatakan bahwa handphone, korek api, kamera dan yang membahayakan agar tidak dibawa. Kita lalu turun dari bis dan ada beberapa bis dari pertamina yang datang untuk tujuan tour di dalam kawasan pertamina. Sebelum kita naik bis dari pertamina, kita dikasih snack dan leaflet “biru” mengenai pertamina, dari perkenalan pertamina, sampai UP I, UPII, UPIII, dsb, dan covernya diambil pada saat sunset,bergambarkan foto kilang pertamina pada saat sore menjelang malam (ini yang secara tidak langsung membuatku menjadi suka sunset).
Sepanjang di dalam pertamina, kita dijelaskan oleh pemandu dari pertamina langsung. Pemandu selalu berusaha menjelaskan sejelas mungkin tanpa lelah. Dia memakai mega phone untuk pengeras suara dalam bis. Sesi di dalam pertamina cukup lama karena kita naik bis muter-muter satu unit pengolahan dan setiap ada bagian yang perlu dijelaskan, maka pemandu akan menjelaskan secara lengkap. Di akhir sesi, ada sesi tanya jawab. Udhik aku bujuk untuk bertanya, tapi dia sepertinya menolak. Malah dia yang menyuruhku bertanya, huft. Aku yang ingin bertanya sesuatu tapi kualitas pertanyaanku tidak bagus dan aku minta pertimbangan Udhik waktu itu. Akhirnya, aku mengacungkan tangan dan bertanya, “mengapa Pertamina dibangun di sebelah laut?”. Hal ini langsung dijawab oleh pemandu yang ada di dalam bus dan sepertinya dia tidak suka dengan pertanyaanku dan perasaanku dia memang kurang menghargaiku, dengan ogah-ogahan dia menjawab agar pembuangan air limbah menjadi lebih mudah, dsb. Tidak seperti pada saat Deny Setiawan memberikan pertanyaan tentang, “berapa jumlah karyawan di Pertamina?”. Padahal aku tahu benar itu pertanyaan buatan salah seorang pegawai pertamina. Wekz..
Beralih dari kunjungan di Pertamina, sekitar jam dua, kami melanjutkan perjalanan dengan bis yang sama menuju salah satu pabrik semen di Cilacap. Dulu, pabrik itu bernama PT Semen Cibinong, sekarang telah berganti nama menjadi PT Holcim. Aku dan Udhik selalu bertukar posisi secara otomatis. Kali ini dia yag di dekat jendela. Jika naik bus lagi, maka itu jatahku untuk duduk di dekat jendela. Sekilas melihat pabriknya sangat kotor karena debu yang beterbangan di area pabrik. Kami berkeliling pabrik sebentar dengan bus, melihat alat-alat berat pabrik, tumpukan kerikil dan pasir yang menggunung. Mobil-mobil besar juga beralu lalang di daerah pabrik. Itulah sekilas pemandangan pabrik yang kulihat dari luar.
Dari bis, kami digiring menuju satu tempat, satu gedung yang cukup menawan mataku, gedung yang luas, seperti hall atau sejenisnya. Panitia atau karyawan PT Semen Cibinong sebagian menyambut kami di teras pintu masuk. Aku melihat hadiah-hadiah yang dibungkus kertas sampul buku warna cokelat itu. Hadiah dibedakan sesuai jenis sekolahnya, yaitu SD, SMP dan SMA. Saya tidak tahu apa perbedaan hadiah anak SD, SMP dan SMA. Yang jelas, saat pertama melihat kita dapat bungkusan, Udhik bilang begini, “Wah, kita dikasih oleh-oleh semen”. Aku menjawab,”iya, juga nih,kita dikasih oleh2 semen apa ya?”. Kita sempat mengantri untuk mendapatkan bingkisan dari PT Semen Cibinong. Bungkusan itu mendarat di tanganku dan ternyata bukan semen, melainkan buku “Mirage” sebanyak 1 pack.
Kaki ini melangkah ke dalam ruangan. Ruangan terlihat dan terkesan gelap, karena itu memang suatu ruangan untuk presentasi, aula atau sejenisnya. Hawa dingin AC terasa di kulitku mengingat aku tidak memakai jaket. Di depan ada podium dan ada layar untuk presentasi dengan power point. Kali itu, pertama kali aku melihat presentasi dengan power point. Aku sangat heran pada saat slide show karena tulisannya jalan sendiri, ngetik sendiri, hoho, bodohnya aku.. Dari pihak semen pun telah menanyakan sebelumnya, “adik-adik bisa buat presentasi power point kan?”. Begitulah. Kita diterangkan mengenai seluk beluk semen sampai dengan tahap pengolahan semen. Aku sebatas tahu apa saja info yang memang sanggup aku cerna waktu itu. Seperti reaksi kimia dsb sepertinya otakku belum jalan untuk menerima semua itu.
Sesi kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Namun, para peserta dipancing satu pertanyaan. Jika dapat menjawab, maka dari Semen akan memberikan hadiah Rp 15.000. Namun, pertanyaan yang terlalu sulit. Ada yang memang berusaha menjawab. Tapi, pada akhirnya salah. Dilanjutkan kemudian sesi tanya jawab yang melibatkan beberapa penanya yang akhirnya diselesaikan dengan sesi penutup.
Dari semen cibinong, kami diantar kembali pulang ke asrama pusdiklat sekitar jam tiga sore. Acara sore itu adalah bebas, karena jadwal baru akan dimulai pascamaghrib. Sebenarnya alokasi waktu semen cibinong dan pertamina sampai sore. Namun, karena ketepatan waktu sehingga acara pun selesai tepat waktu. Sore itu, setelah shalat ashar, kami menuju kamar masing-masing. Sekedar ngobrol ngalor ngidul, sekedar bercanda bersama. Pernah dalam suatu siang, Udhik ditemui bapaknya, pas kita berdua sedang jalan kaki menuju aula pusdiklat, dia hanya menemui sebentar dan entah ngobrol apa mereka berdua. Yang jelas, dia sudah tidak lagi menangisi bapaknya lagi, hoho..
Sore hari itu bagi kami adalah sore hari yang paling menyiksa, karena apa? Ya, sangat lapar. Perut kami sudah mulai keroncongan, keruyukan, dan apapun istilahnya. Yang jelas, di dekat asrama ada bakso yang kukenal, kalau tidak salah bakso Pak Pur. Bakso itu mempunyai cabang di mana-mana dan aku pernah makan bakso di salah satu cabang. Udhik yang waktu itu aku ajak makan bakso, namun dia menolak dengan alasan dia ingin istirahat dulu. Sementara sasaran yang kuajak dan langsung mengiyakan adalah Dion Mahatma, memang dia berisi badannya. Akupun tahu kalau aku lapar, dia pasti lebih lapar lagi. Alhasil, sore itu kita menikmati semangkuk bakso. Tidah hanya aku dan Dion, namun ternyata teman-teman yang lain ikut-ikutan makan bakso. Lumayan untuk sekedar mengganjal perut sampai Maghrib nanti.
Saatnya sholat maghrib dan isya. Seperti biasanya, muadzin dan tauziah nya adalah mas Prio Anggoro. Krislam, masih ingat benar, dia sesekali bisa diajak dan sesekali tidak bisa diajak solat. Ya Allah, sekarang dia agamanya apa ya?? Anditya, penggalan namanya yang masih kuingat sampai sekarang. Makan malam itu memakai ayam goreng seperti malam yang telah berlalu. Seolah sudah tanpa beban, kami mengambil sendiri makan malam dan tanpa malu-malu ada yang menambah. Tapi, aku cukup makan sekali dan tidak perlu nambah karena memang sudah sangat kenyang.
Malam itu, sekali lagi, kita digiring untuk berjalan kaki menuju pendopo kabupaten. Malam itu, aku duduk terpisah dari Udhik. Disebelah kiriku ada Deny Setiawan, di sebelah kananku ada yang dari Maos, terus kalau tidak salah ada Bety Nurhajat Jalanita, juga ada Rizma Haidif Firinda. Bety ini pertama kulihat memang orangnya special super pinter dan agak congkak sedikit bawaannya, atau memang karena dia itu super pintar atau bagaimana. Tapi waktu SMA karena kita satu SMA dan satu kelas juga waktu kelas XII, aku tanya ke dia tentang saat GADA BERCAHAYA itu, dia hanya menjawab, “iya memang waktu itu sosialisasiku kurang bagus”. Deny, orangnya murah senyum dan supel sehingga panitia GADA kenal akrab dengan dia. Kulitnya cerah langsat,matanya sipit seperti dia itu keturunan Chinese tapi masih ada Jawanya sedikit. Dia suka bermain catur, dia kayaknya juga jago matematika. Malam itu aku dicubit Deny Setiawan, pundak kiriku, karena aku mencomblangkan dia dengan seseorang. Deny Setiawan dari SD N Tritihwetan 02. Rizma juga sempat ngobrol denganku.
Aku lebih banyak ngantuk meskipun tarian yang disajikan dari siswa SMP Maos bagus-bagus dan acara-acara yang disajikan malam itu cukup menghibur. Sekitar jam 22.00 malam kita kembali lagi ke asrama pusdiklat dengan ngantuk yang hilang karena kita berjalan kaki. Namun, sebelum itu, kita diberi satu kenang-kenangan oleh bupati Cilacap, yaitu ornament topeng ala Indian, dan ada papan tergantung dibawahnya bertuliskan dari Bupati Cilacap. Topeng itu sekarang pecah dan disimpan di lemari.
Sekitar 10 menit setelah sampai di asrama, aku mencopot sepatu dan merangkak naik ke atas untuk tidur.. Kali ini giliranku yang tidur di pinggir, dia yang tidur di tengah. Kita berdua memang begitu, saling berbagi, dari tempat duduk di bus, tempat tidur, jadi sama-sama pernah merasakan enak, pernah juga merasakan tidak enak. Hari kedua ini, banyak memoriku yang sudah terhapus karena memang kesan yang kudapatkan kurang dibandingkan hari pertama atau hari ke tiga. Memori 16 Agustus 2000... To be continue
Visit Facebook GADA BERCAHAYA http://www.facebook.com/group.php?gid=152370014923
Visit Facebook GADA BERCAHAYA http://www.facebook.com/group.php?gid=152370014923